Rabu, 25 Mei 2016

Dinasti Fatimiyah

A.      Kelahiran, kejayaan, dan kemunduran Fatimiyah di Mesir             Dinasti Fatimiyyah adalah satu-satunya Dinasti Syi’ah da... thumbnail 1 summary



A.     Kelahiran, kejayaan, dan kemunduran Fatimiyah di Mesir
            Dinasti Fatimiyyah adalah satu-satunya Dinasti Syi’ah dalam Islam yang penamaannya dinisbatkan kepada Fatimah Al-Zahra, putri Nabi Muhammad Saw. Kebangkitan dinasti ini  berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai  Afrika Utara. Sebelum Dinasti ini berdiri, di Afrika Utara  terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai paham Syi’ah. Propaganda syi’ah kedaerah ini dilakukan oleh Abdullah Al-Husain Al-Syi’i. propaganda Syi’ah ini berasal dari San’a di  Yaman, kemudian ia mempropagandakan Syi’ah ini kepada orang-orang suku Kitamah. Yang ditemuinya pada musim haji di Mekkah. Setelah ia merasa dakwahnya diterima, maka ia berangkat ke Afrika Utara untuk lebih meluaskan propagandanya.
            Kesuksesan Al-Syi’i di Afrika Utara itu menarik perhatian Said Husain untuk meninggalkan pusat Islamiah di Salamyah. Dengan menyamar sebagai seorang pedagang, ia menuju ke Afrika Utara. Dengan bantuan Al-Syi’i, Said dapat menaklukan kota Sijilmasa yang pada masa itu diperintah oleh Ziyadat Allah (memerintah 903-909 M) setelah kekuasaan Aghlabiyah yang berpaham suni ini ditaklukkan, maka Said dibaiat menjadi seorang penguasa dengan titel “imam Ubaidillah al-mahdi” dan menerima pengakuan sebagai keturunan Fatimah melalui Hasan dan Ismail. Karena itu dinasti yang didirikan disebut Fatimiyah dan sering disebut Ubaidillah terutama bagi mereka yang tidak mempercayai hubungan darah Fatimah dan Said.
            Said membangun Raqqadah dekat Qairuwan sebagai pusat pemerintahannya. Dua tahun setelah memperoleh kekuasaannya, ia membunuh orang yang paling berjasa kepadanya. Abdullah Al-Husain Al-Syi’i. setelah itu ia memperluas kekuasaannya ke seluruh daerah Afrika Utara mulai dari Maroko di barat sampai ke perbatasan Mesir di timur. Pada tahun 969 M, Fatimiyah merebut kekuasaan Mesir dari tangan keluarga Ikhsidiyah. Pahlawan penakluk mesir ialah Jauhar Al-shiqili yang berasal dari sicilia. Pada masa itupula Jauhar Al-Shiqili membangun sebuah ibu kota  baru yang diberi nama Al-Qahirah (Kairo). Kota ini kemudian menjadi pusat pemerintahan Fatimiyah yang telah berpindah ke Mesir pada tahun 973 M. Dalam rangka membangun Al-Qahiroh setahun sebelumnya ia mendirikan Masjid Raya yang diberi nama Al-Azhar. Masjid ini kemudian dijadikan sebagai lembaga pendidikan akademis oleh Abu Mansyur Nizar Al-Aziz.
 Mendirikan kerajaan-kerajaan sendiri, pada masa Abu Ali Manshur Al-Hakim (996-1021 M) diwarnai dengan berbagai kekacauan dan kekejaman yang luar biasa. Ia membunuh wazirnya yang tidak bersalah dan menghancurkan sejumlah Gereja. Ia menganut alirah Ismailiyah yang ekstrim dan menganggap dirinya sebagai inkarnasi dari Tuhan. Pada tahun 1021 M, Al-Hakim dibunuh di Muqatham, mungkin oleh suatu komplotan yang dipinpin oleh saudara perempuannya Sitt Al-Muluk. Kemudian ia digantikan oleh anaknya Al-Dzahir yang memperbaiki hubungan dengan orang-orang Kristen.
            Ketika Al-muqtasim memerintah wilayah kekuasaan Fatimiyah menciut. Tahun 1043 M Syiria, yang merupakan wilayahnya melepaskan diri dari kekuasaan Fatimiyah, provinsi Fatimiyah di Afrika memisahkan diri dan kemudian berdiri dibawah lindungan Abbasiyah. Pada tahun 1052 M Tripoli dan Tunisia direbut oleh keluarga Khilal dan Sulaim. Tahun 1071 M sicilia direbut oleh orang-orang Normandia. Huru hara dalam negeri terus berlangsung. Kemudian pada tahun 1073 M, Badr Al-jamaly diangkat sebagai wazir dan panglima yang sebelumya menjadi gubernur militer di Afrika. Pengangkatan Badr Al-jamaly  maupun anaknya Al-Malik Al-Afdhal pada tahun 1094 M tidak banyak berhasil mencegah proses kejatuhan dinasti ini. Setelah wafatnya Al-Mustanzir  pada 1094 M, wazir Al-Malik Al-Afdhal menetapkan putra Al-Mustanzir yang paling muda, Al-Musta’ly sebagai penggantinya dengan gelar “Al-Amir”, kemudian pada tahun 1130 M terjadi pembunuhan terhadap Imam Al-Zafir, dua hari setelah pembunuhan tersebut, wazir Abbas menunjuk Al-Faiz yang berusia 4 tahun menjadi imam, yang kemudian meninggal pada umur 11 tahun. Dan digantikan oleh saudara sepupunya Al-‘Adil sebagai Imam terakhir Dinasti Fatimiyah.
            Kekacauan yang terjadi pada dinasti ini dan keadaan politik yang tidak menentu telah menghancurkan ekonomi rakyat, selain itu rakyat dibebani dengan pajak yang tinggi. Dalam keadaan ini tentara Salib dah Yerussalem mengancam Kota Kairo pada tahun 1167. Untunglah keadaan yang kacau ini diakhiri oleh Salahuddin Al-Ayyubi pada tahun 1171 M menurunkan imam terakhir Dinasti Fatimiyah dan mendirikan Dinasti Ayyubiyah.[1]
B.     Kehidupan Sosial dan Politik Syi’ah
            Mayoritas Imam Fatimiyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama nonmuslim. Selama masa ini pemeluk kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya pada masa Imam Al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan Armenia ridak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintah muslim. Pada masa Al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan daripada umat Islam di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana. Demikian pula pada masa Al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh kedamaian dan kemakmuran. Sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh orang-orang kopti. Pada Imam generasi akhir, gereja-gereja Kristen banyak yang dipugar, pemeluk Kristen pula semakin banyak yang diangkat sebagai pegawai pemerintah.
Mayoritas Imam Fatimiyah berpola hidup mewah dan santai. Al-Mustansir, menurut satu informasi, mendirikan semacam paviliun di istananya sebagai tempat memuaskan kegemaran berfoya-foya bersama sejumlah penari rupawan. Nasir Al-Khusraw menulis catatan tentang kehidupan kota Kairo bahwa ia menyaksikan seorang Imam pada sebuah festival tampak sangat mempesona dengan pakaian kebesarannya. Istana Imam dihuni 30.000 orang, diantara mereka terdapat 12.000 orang pembantu dan 1.000 orang pengawal berkudadan pengawal jalan kaki. Kota Kairo dihiasi dengan sejumlah masjid, perguruan, rumah sakit, dan perkampungan khafilah. Tempat-tempat pemandian umum yang cukup indah dapat dijumpai diberbagai penjuru kota, baik pemandian khusus untuk laki-laki maupun untuk perempuan.[2]
Dalam politik Dinasti ini hanya memiliki satu tujuan yaitu berusaha mengajak masyarakat untuk memeluk Mazdhab syi'ah Islamiyah, dan menjadikan madzhab ini sebagai masdzhab utama di negara Mesir wilayah negri yang berada di bawahnya. Untuk hal ini Imam Al-Aziz sangat menunjukkan sikap yang baik terhadap orang Yahudi dan Nasrani. ia juga menikahi perempuan Nasrani dan untuk itu ia bertoleransi dalam pendirian Gereja di wilayahnya.Al-Aziz juga mengangkat Isa bin Nestoris kedalam pemerintahannya sementara beliau juga menjadikan Melassa Al-Yahudi sebagai wali di Syam.[3]
            Tidak diragukan berdirinya dinasti Fatimiyah di Afrika memberikan nuansa kehawatiran pada Dinasti Abbasiyah  dikarenakan penguasaan mereka atas wilayah ini akan menaikkan derajat Fatimiyah di wilayah Mesir, Syam, Pelestina ,dan Hejaz penguasaan atas wilayah ini pula akan sangat memudahkan dalam mengusai wilayah Baghdad pada masa itu. Karena itu Khalifah Abbasiyah memancing Dinasti Buwaihi untuk memerangi Dinasti Fatimiyah yang pada akhirnya terjadi peperangan antara Buwaihi dengan Fatimiyah.
            Dalam politik lain juga sejumlah hal penting yang ditempuh oleh para penguasa awal Imam Fatimiyah ini untuk melancarkan stabilitas politik, yaitu antara lain Said Husain, Imam pertama, melakukan pembersihan figur-figur yang dicurigai atau dianggap sebagai penghalang progamnya. Cara-cara ini dalam sejarah politik di Abbasiyah juga pernah terjadi. Selain itu juga dilakukan pengembangan militer sebagai tulang punggung Pemerintahan. Pengembangan kekuatan militer ini dapat dilihat dari tindakan Said Husain dalam membangun kota Mahdiyah, sebelah selatan kota Qairawan. Kota Mahdiyah merupakan pangkalan armada laut Dinasti Fatimiyah. Langkah lain yang dilakukan juga adalah pengembangan wilayah kekuasaan. dan upaya antisipasi terhadap gerakan-gerakan yang membahayakan posisi Imam Fatimiah.
C.     Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Keagamaan
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Fatimiyah mencapai kondisi yang sangat mengagumkan. Hal ini di sebabkan dengan berkembangnya penterjemahan dan penerbitan sumber-sumber pengetahuan dari bahasa asing, seperti bahasa Yunani, Persia dan India kedalam bahasa Arab yang banyak mendorong para wazir, Sultan dan Umara untuk melahirkan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dan sastra.[4]
Di antara tempat berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa dinasti Fatimiyah adalah dengan berdirinya masjid dan istana yang kemudian dijadikan sebagai tempat basis ilmu pengetahuan, diceritakan salah seorang wazir Dinasti ini Ya’qub Ibn Yusuf Ibn Killis sangat mencintai ilmu pengetahuan dan seni . Pada masa dinasti ini masjid menjadi tempat berkumpulnya ulama fiqih khususnya ulama yang menganut mazhab Syi’ah Ismailiyah juga para wazir dan hakim, mereka berkumpul membuat buku tentang mazhab Syi’ah yang akan diajarkan kepada masyarakat, di antara tokoh yang membuat buku itu ialah Ya’kub ibn Killis, dan fungsi dari perkumpulan tersebut untuk memutuskan perkara yang timbul dalam peroses pembelajaran mazhab Syi’ah. Nampak jelas lembaga-lembaga ini menjadi tempat penyebaran ideologi mereka.
Kemudian pada masa Dinasti ini perpustakaan juga mempunyai peran yang tidak kecil dibandingkan dengan masjid untuk itu para Imam dan wazir memperbanyak pengadaan berbagai buku ilmu pengetahuan sehingga perpustakaan istana menjadi perpustakaan yang terbesar pada masanya, ketika itu memiliki kurang lebih 200.000 buku dan 2.400 eksemplar Al-Quran yang dihiasi ornamen-ornamen indah.perpustakaan ini di kenal dengan nama Dar al-Ulum digabungkan dengan Dar al-Hikmah yang berisi berbagai ilmu pengetahuan sehingga melahirkan sejumlah ulama, pada masa ini muncul sejumlah ulama diantaranya: Muhammad Al-Tamimi (ahli Fisika dan kedokteran), Al-Kindi (ahli sejarah dan filsafat), Al-Nu’man (ahli hukum dan menjabat sebagai hakim), Ali Ibn Yusuf (w. 1009) seorang astronomi paling hebat yang dilahirkan di Mesir: Abu Ali Al-Hasan  dan Ibn Al-Haitam yang meruapakan peletak dasar ilmu fisika dan optik. Ibn Al-Haitam menulis tidak kurang seratus karya yang meliputi bidang matematika, astronomi, filsafat dan kedokteran. Karya monumentalnya Kitab Al-Manazhir mengenai ilmu optik: Ammar Ibn Ali Al-Maushili dengan karya Al-Muntakhab fi  ‘ilaj al-‘Ayn (Karya Pilihan tentang Penyembuhan Mata).[5]
Dinasti Fatimiyah ini menggunakan model pemerintahan yang bersifat keagamaan. Dalam arti bahwa hubungan-hubungan dengan agama sangatlah kuat, simbol-simbol keagamaan, khususnya. Dalam hubunganya dengan keluarga Ali, sangat ditonjolkan dalam mengurus pemerintahan. Seperti dinyatakan oleh Moh Nurhakim, bahwa Fatimiyah membangun masjid-masjid, seperti Al-Azhar dan Al-Hakim, dengan menara serta kubahnya yang menjulang bagaikan ketinggian para Imam, dan mengingatkan terhadap kota suci Makkah dan Madinah  Sebagai suatu cara memuliakan terhadap Imam karena kesungguhannya dalam berbakti kepada Tuhan. Selain itu menurut mereka doktrin keimaman adalah bahwa Imam mesti dijaga oleh Allah dari kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan oleh manusia biasa. Selanjutnya, doktrin ini bisa dimanfaatkan oleh para khalifah untuk membuat legitimasi keagamaan pada dirinya. MisaInya, Ubaidillah Al-Mahdi, pendiri Fatimiyah, adalah gelar dari Said bin Husain Al-Salamiyah, sekaligus dengan gelar ini dia menyatakan diri sebagai Imam dari Syi’ah Ismailiyah. Dengan gelar ini, maka setidaknya akan menimbulkan kesan umum bahwa sang khalifah adalah seorang imam yang terjaga dari kesalahan-kesalahan fatal.[6]
D.     Perkembangan Seni dan Arsitektur
Dinasti Fatimiyah pada umumnya juga mencintai berbagai seni termasuk seni bangunan (arsitektur). Mereka mempercantik ibukota dan kota-kota lainnya dengan berbagai bangunan megah. Masjid agung Al-Azhar dan masjid agung Al-Hakim menandai kemajuan arsitektur zaman Fatimiyyah. Imam juga mendatangkan sejumlah arsitek Romawi untuk membantu menyelesaikan tiga buah gerbang raksasa di Kairo, dan benteng-benteng di wilayah perbatasan Bizantine. Semua ini merupakan sebagian dari peninggalan sejarah pemerintahan Syi’ah di Mesir.[7]
 (Peninggalan Dinasti Fatimiyah)
Pada masa Fatimiyah, Kota Kairo dipenuhi dengan bangunan yang memiliki gaya arsitektur yang tinggi. Jenis keramik lustreware tersebar luas selama periode Fatimiyah. Kaca dan logam juga populer saat itu. Masjid dan istana dihiasi dengan marmer dan granit. Pilar, ukiran, dan patung yang bercorak Islam banyak digunakan. Panel dekoratif dan lampu kandil dilapisi dengan batu pualam putih dalam berbagailapisan warna. Tekstil dan bordir dari Kairo juga mampu menarik minat dunia, terutama para pedagang dari Eropa. Jejak seni arsitektur Fatimiyah yang sampai saat ini masih bisa dilacak adalah bangunan Masjid Al Azhar dan Masjid Al Al-Hakim serta kawasan Khan Al-Khalili.


[1]Susmihara dan Rahmat, Sejarah Islam Klasik,(Yogyakarta: Ombak,2013) hlm. 220-224.
[2] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Amzah, Jakarta; 2010) hlm. 264-265.
[3]  Sowito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana Prenada Media Graoup, 2005) hlm. 124.
[4] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Daulah al-Fatimiyyah, hlm. 421
[5] Philip K. Hitti, History of The Arabs: From The Earliest Times to The Present, pen. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010)  hlm. 802-806.
[6] Moh Nurhakim, Sejarah Peradaban Islam (Malang: UMM Pres, 2003) hlm. 106-107.
[7] K. Ali, Sejarah Islam, hlm. 515-516.

Tidak ada komentar

Posting Komentar