A.
Kelahiran,
kejayaan, dan kemunduran Fatimiyah di Mesir
Dinasti Fatimiyyah adalah
satu-satunya Dinasti Syi’ah dalam Islam yang penamaannya dinisbatkan kepada
Fatimah Al-Zahra, putri Nabi Muhammad Saw. Kebangkitan dinasti ini berasal dari suatu tempat yang kini dikenal
sebagai Afrika Utara. Sebelum Dinasti
ini berdiri, di Afrika Utara terdapat
kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai paham Syi’ah. Propaganda syi’ah
kedaerah ini dilakukan oleh Abdullah Al-Husain Al-Syi’i. propaganda Syi’ah ini
berasal dari San’a di Yaman, kemudian ia
mempropagandakan Syi’ah ini kepada orang-orang suku Kitamah. Yang ditemuinya
pada musim haji di Mekkah. Setelah ia merasa dakwahnya diterima, maka ia
berangkat ke Afrika Utara untuk lebih meluaskan propagandanya.
Kesuksesan Al-Syi’i di Afrika Utara
itu menarik perhatian Said Husain untuk meninggalkan pusat Islamiah di
Salamyah. Dengan menyamar sebagai seorang pedagang, ia menuju ke Afrika Utara.
Dengan bantuan Al-Syi’i, Said dapat menaklukan kota Sijilmasa yang pada masa
itu diperintah oleh Ziyadat Allah (memerintah 903-909 M) setelah kekuasaan
Aghlabiyah yang berpaham suni ini ditaklukkan, maka Said dibaiat menjadi
seorang penguasa dengan titel “imam
Ubaidillah al-mahdi” dan menerima pengakuan sebagai keturunan Fatimah
melalui Hasan dan Ismail. Karena itu dinasti yang didirikan disebut Fatimiyah
dan sering disebut Ubaidillah terutama bagi mereka yang tidak mempercayai
hubungan darah Fatimah dan Said.
Said membangun Raqqadah dekat
Qairuwan sebagai pusat pemerintahannya. Dua tahun setelah memperoleh
kekuasaannya, ia membunuh orang yang paling berjasa kepadanya. Abdullah
Al-Husain Al-Syi’i. setelah itu ia memperluas kekuasaannya ke seluruh daerah
Afrika Utara mulai dari Maroko di barat sampai ke perbatasan Mesir di timur.
Pada tahun 969 M, Fatimiyah merebut kekuasaan Mesir dari tangan keluarga
Ikhsidiyah. Pahlawan penakluk mesir ialah Jauhar Al-shiqili yang berasal dari
sicilia. Pada masa itupula Jauhar Al-Shiqili membangun sebuah ibu kota baru yang diberi nama Al-Qahirah (Kairo).
Kota ini kemudian menjadi pusat pemerintahan Fatimiyah yang telah berpindah ke
Mesir pada tahun 973 M. Dalam rangka membangun Al-Qahiroh setahun sebelumnya ia
mendirikan Masjid Raya yang diberi nama Al-Azhar. Masjid ini kemudian dijadikan
sebagai lembaga pendidikan akademis oleh Abu Mansyur Nizar Al-Aziz.
Mendirikan kerajaan-kerajaan sendiri, pada
masa Abu Ali Manshur Al-Hakim (996-1021 M) diwarnai dengan berbagai kekacauan
dan kekejaman yang luar biasa. Ia membunuh wazirnya yang tidak bersalah dan
menghancurkan sejumlah Gereja. Ia menganut alirah Ismailiyah yang ekstrim dan
menganggap dirinya sebagai inkarnasi dari Tuhan. Pada tahun 1021 M, Al-Hakim
dibunuh di Muqatham, mungkin oleh suatu komplotan yang dipinpin oleh saudara
perempuannya Sitt Al-Muluk. Kemudian ia digantikan oleh anaknya Al-Dzahir yang memperbaiki
hubungan dengan orang-orang Kristen.
Ketika Al-muqtasim memerintah
wilayah kekuasaan Fatimiyah menciut. Tahun 1043 M Syiria, yang merupakan wilayahnya
melepaskan diri dari kekuasaan Fatimiyah, provinsi Fatimiyah di Afrika
memisahkan diri dan kemudian berdiri dibawah lindungan Abbasiyah. Pada tahun
1052 M Tripoli dan Tunisia direbut oleh keluarga Khilal dan Sulaim. Tahun 1071
M sicilia direbut oleh orang-orang Normandia. Huru hara dalam negeri terus
berlangsung. Kemudian pada tahun 1073 M, Badr Al-jamaly diangkat sebagai wazir
dan panglima yang sebelumya menjadi gubernur militer di Afrika. Pengangkatan
Badr Al-jamaly maupun anaknya Al-Malik
Al-Afdhal pada tahun 1094 M tidak banyak berhasil mencegah proses kejatuhan
dinasti ini. Setelah wafatnya Al-Mustanzir pada 1094 M, wazir Al-Malik Al-Afdhal menetapkan
putra Al-Mustanzir yang paling muda, Al-Musta’ly sebagai penggantinya dengan
gelar “Al-Amir”, kemudian pada tahun
1130 M terjadi pembunuhan terhadap Imam Al-Zafir, dua hari setelah pembunuhan
tersebut, wazir Abbas menunjuk Al-Faiz yang berusia 4 tahun menjadi imam, yang
kemudian meninggal pada umur 11 tahun. Dan digantikan oleh saudara sepupunya Al-‘Adil
sebagai Imam terakhir Dinasti Fatimiyah.
Kekacauan yang terjadi pada dinasti
ini dan keadaan politik yang tidak menentu telah menghancurkan ekonomi rakyat,
selain itu rakyat dibebani dengan pajak yang tinggi. Dalam keadaan ini tentara
Salib dah Yerussalem mengancam Kota Kairo pada tahun 1167. Untunglah keadaan
yang kacau ini diakhiri oleh Salahuddin Al-Ayyubi pada tahun 1171 M menurunkan
imam terakhir Dinasti Fatimiyah dan mendirikan Dinasti Ayyubiyah.[1]
B. Kehidupan Sosial dan Politik
Syi’ah
Mayoritas Imam Fatimiyah bersikap
moderat dan penuh perhatian kepada urusan agama nonmuslim. Selama masa ini
pemeluk kristen Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya pada masa Imam
Al-Hakim yang bersikap agak keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti
dan Armenia ridak pernah merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap
pemerintah muslim. Pada masa Al-Aziz bahkan mereka lebih diuntungkan daripada
umat Islam di mana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana.
Demikian pula pada masa Al-Mustansir dan seterusnya, mereka hidup penuh
kedamaian dan kemakmuran. Sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh orang-orang
kopti. Pada Imam generasi akhir, gereja-gereja Kristen banyak yang dipugar,
pemeluk Kristen pula semakin banyak yang diangkat sebagai pegawai pemerintah.
Mayoritas Imam Fatimiyah berpola
hidup mewah dan santai. Al-Mustansir, menurut satu informasi, mendirikan
semacam paviliun di istananya sebagai tempat memuaskan kegemaran berfoya-foya
bersama sejumlah penari rupawan. Nasir Al-Khusraw menulis catatan tentang
kehidupan kota Kairo bahwa ia menyaksikan seorang Imam pada sebuah festival
tampak sangat mempesona dengan pakaian kebesarannya. Istana Imam dihuni 30.000
orang, diantara mereka terdapat 12.000 orang pembantu dan 1.000 orang pengawal
berkudadan pengawal jalan kaki. Kota Kairo dihiasi dengan sejumlah masjid,
perguruan, rumah sakit, dan perkampungan khafilah. Tempat-tempat pemandian umum
yang cukup indah dapat dijumpai diberbagai penjuru kota, baik pemandian khusus
untuk laki-laki maupun untuk perempuan.[2]
Dalam politik Dinasti ini hanya
memiliki satu tujuan yaitu berusaha mengajak masyarakat untuk memeluk Mazdhab
syi'ah Islamiyah, dan menjadikan madzhab ini sebagai masdzhab utama di negara
Mesir wilayah negri yang berada di bawahnya. Untuk hal ini Imam Al-Aziz sangat
menunjukkan sikap yang baik terhadap orang Yahudi dan Nasrani. ia juga menikahi
perempuan Nasrani dan untuk itu ia bertoleransi dalam pendirian Gereja di
wilayahnya.Al-Aziz juga mengangkat Isa bin Nestoris kedalam pemerintahannya
sementara beliau juga menjadikan Melassa Al-Yahudi sebagai wali di Syam.[3]
Tidak diragukan berdirinya dinasti Fatimiyah
di Afrika memberikan nuansa kehawatiran pada Dinasti Abbasiyah dikarenakan penguasaan mereka atas wilayah ini
akan menaikkan derajat Fatimiyah di wilayah Mesir, Syam, Pelestina ,dan Hejaz
penguasaan atas wilayah ini pula akan sangat memudahkan dalam mengusai wilayah
Baghdad pada masa itu. Karena itu Khalifah Abbasiyah memancing Dinasti Buwaihi
untuk memerangi Dinasti Fatimiyah
yang pada akhirnya terjadi peperangan antara Buwaihi dengan Fatimiyah.
Dalam
politik lain juga sejumlah hal penting yang ditempuh oleh para penguasa awal
Imam Fatimiyah ini untuk melancarkan stabilitas politik, yaitu antara lain Said
Husain, Imam pertama, melakukan pembersihan figur-figur yang dicurigai atau
dianggap sebagai penghalang progamnya. Cara-cara ini dalam sejarah politik di
Abbasiyah juga pernah terjadi. Selain itu juga dilakukan pengembangan militer
sebagai tulang punggung Pemerintahan. Pengembangan kekuatan militer ini dapat
dilihat dari tindakan Said Husain dalam membangun kota Mahdiyah, sebelah
selatan kota Qairawan. Kota Mahdiyah merupakan pangkalan armada laut Dinasti
Fatimiyah. Langkah lain yang dilakukan juga adalah pengembangan wilayah
kekuasaan. dan upaya antisipasi terhadap gerakan-gerakan yang
membahayakan posisi Imam Fatimiah.
C. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Keagamaan
Perkembangan
ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Fatimiyah mencapai kondisi yang sangat mengagumkan.
Hal ini di sebabkan dengan berkembangnya penterjemahan dan penerbitan
sumber-sumber pengetahuan dari bahasa asing, seperti bahasa Yunani, Persia dan
India kedalam bahasa Arab yang banyak mendorong para wazir, Sultan dan Umara
untuk melahirkan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dan sastra.[4]
Di antara
tempat berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa dinasti Fatimiyah adalah dengan
berdirinya masjid dan istana yang kemudian dijadikan sebagai tempat basis ilmu
pengetahuan, diceritakan salah seorang wazir Dinasti ini Ya’qub Ibn Yusuf Ibn
Killis sangat mencintai ilmu pengetahuan dan seni . Pada masa
dinasti ini masjid menjadi tempat berkumpulnya ulama fiqih khususnya ulama yang menganut mazhab
Syi’ah Ismailiyah juga para wazir dan hakim, mereka berkumpul membuat buku
tentang mazhab Syi’ah yang akan diajarkan kepada masyarakat, di antara tokoh
yang membuat buku itu ialah Ya’kub ibn Killis, dan fungsi dari perkumpulan
tersebut untuk memutuskan perkara yang timbul dalam peroses pembelajaran mazhab
Syi’ah.
Nampak jelas lembaga-lembaga ini menjadi tempat penyebaran ideologi mereka.
Kemudian
pada masa Dinasti ini perpustakaan juga mempunyai peran yang tidak kecil
dibandingkan dengan masjid untuk itu para Imam dan
wazir memperbanyak pengadaan berbagai buku ilmu pengetahuan sehingga
perpustakaan istana menjadi perpustakaan yang terbesar pada masanya, ketika itu memiliki kurang lebih
200.000 buku dan 2.400 eksemplar Al-Quran yang dihiasi ornamen-ornamen indah.perpustakaan
ini di kenal dengan nama Dar al-Ulum digabungkan dengan Dar al-Hikmah yang
berisi berbagai ilmu pengetahuan sehingga melahirkan sejumlah ulama, pada masa
ini muncul sejumlah ulama diantaranya:
Muhammad Al-Tamimi
(ahli Fisika dan kedokteran), Al-Kindi (ahli
sejarah dan filsafat), Al-Nu’man (ahli hukum dan menjabat sebagai hakim),
Ali Ibn Yusuf (w. 1009) seorang astronomi paling hebat yang dilahirkan di Mesir: Abu Ali Al-Hasan dan Ibn Al-Haitam
yang meruapakan
peletak dasar ilmu fisika dan optik. Ibn Al-Haitam
menulis tidak kurang seratus karya yang meliputi bidang matematika, astronomi,
filsafat dan kedokteran. Karya monumentalnya Kitab Al-Manazhir
mengenai ilmu optik:
Ammar Ibn Ali Al-Maushili
dengan karya Al-Muntakhab
fi ‘ilaj al-‘Ayn (Karya Pilihan tentang Penyembuhan Mata).[5]
Dinasti Fatimiyah ini menggunakan
model pemerintahan yang bersifat keagamaan. Dalam arti bahwa hubungan-hubungan
dengan agama sangatlah kuat, simbol-simbol keagamaan, khususnya. Dalam
hubunganya dengan keluarga Ali, sangat ditonjolkan dalam mengurus pemerintahan.
Seperti dinyatakan oleh Moh Nurhakim, bahwa Fatimiyah membangun masjid-masjid,
seperti Al-Azhar dan Al-Hakim, dengan menara serta kubahnya yang menjulang
bagaikan ketinggian para Imam, dan mengingatkan terhadap kota suci Makkah dan
Madinah Sebagai suatu cara memuliakan terhadap Imam karena kesungguhannya
dalam berbakti kepada Tuhan. Selain itu menurut mereka doktrin keimaman adalah
bahwa Imam mesti dijaga oleh Allah dari kesalahan-kesalahan yang biasa
dilakukan oleh manusia biasa. Selanjutnya, doktrin ini bisa dimanfaatkan oleh
para khalifah untuk membuat legitimasi keagamaan pada dirinya. MisaInya,
Ubaidillah Al-Mahdi, pendiri Fatimiyah, adalah gelar dari Said bin Husain
Al-Salamiyah, sekaligus dengan gelar ini dia menyatakan diri sebagai Imam dari
Syi’ah Ismailiyah. Dengan gelar ini, maka setidaknya akan menimbulkan kesan
umum bahwa sang khalifah adalah seorang imam yang terjaga dari kesalahan-kesalahan
fatal.[6]
D.
Perkembangan
Seni dan Arsitektur
Dinasti Fatimiyah
pada umumnya juga mencintai berbagai seni termasuk seni bangunan (arsitektur).
Mereka mempercantik ibukota dan kota-kota lainnya dengan berbagai bangunan
megah. Masjid agung Al-Azhar
dan masjid agung Al-Hakim
menandai kemajuan arsitektur zaman Fatimiyyah. Imam juga mendatangkan sejumlah arsitek Romawi untuk membantu
menyelesaikan tiga buah gerbang raksasa di Kairo,
dan benteng-benteng di wilayah perbatasan Bizantine. Semua ini merupakan sebagian
dari peninggalan sejarah pemerintahan Syi’ah di Mesir.[7]
(Peninggalan Dinasti Fatimiyah)
Pada masa Fatimiyah, Kota Kairo
dipenuhi dengan bangunan yang memiliki gaya arsitektur yang tinggi. Jenis
keramik lustreware tersebar luas selama periode Fatimiyah. Kaca dan logam juga
populer saat itu. Masjid dan istana dihiasi dengan marmer dan granit. Pilar,
ukiran, dan patung yang bercorak Islam banyak digunakan. Panel dekoratif dan
lampu kandil dilapisi dengan batu pualam putih dalam berbagailapisan warna.
Tekstil dan bordir dari Kairo juga mampu menarik minat dunia, terutama para
pedagang dari Eropa. Jejak seni arsitektur Fatimiyah yang sampai saat ini masih
bisa dilacak adalah bangunan Masjid Al Azhar dan Masjid Al Al-Hakim serta
kawasan Khan Al-Khalili.
[1]Susmihara dan Rahmat, Sejarah Islam Klasik,(Yogyakarta:
Ombak,2013) hlm. 220-224.
[2] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Amzah,
Jakarta; 2010) hlm. 264-265.
[3] Sowito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam.
(Jakarta: Kencana Prenada Media Graoup, 2005) hlm. 124.
[5]
Philip K. Hitti, History of The
Arabs: From The Earliest Times to The Present, pen. R. Cecep Lukman Yasin
dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010) hlm. 802-806.
[6] Moh
Nurhakim, Sejarah Peradaban Islam (Malang: UMM Pres, 2003) hlm.
106-107.
[7] K. Ali, Sejarah Islam, hlm.
515-516.
Tidak ada komentar
Posting Komentar