Oleh: Anwar
Abad
modern telah benar-benar meringkus manusia ke sebuah metafora besar; di mana
perubahan nilai dan sikap tanpak pada hal-hal yang matematis, praktis, dan
pragmatis. Manusia seakan-akan telah mampu menciptakan takdirnya sendiri sesuai
peradaban dan alat-alat canggih yang ditawarkan abad ini. Teknologisasi dunia, yang membuat segala sesuatu
menjadi mudah diterka, bahkan di dapatkan, suatu kiblat bagi manusia untuk
mencapai identitas serta kepuasan hasrat. Manusia pun memakai pradigma baru
dalam menjalani kehidupan bersosial; hidup asal bahagia, sudah!
Lalu
terjadilah pergeseran nilai di sini. Kegiatan-kegiatan manusia beku dan stagnan, tanpa kreatifitas, seolah-olah manusia mengamini betul perkataan Jean
Baudrillard akan “the silent majoritis”, mayoritas yang diam.
Segerombolan manusia yang kehilangan daya keritisnya akan fenomena sekitar,
hingga akarnya tranformasi nila-nilai budaya menjadi macet dan gersang.
Celakalah kebudayaan kita, sebab tanpa disadari pradigma berpikir manusia telah
dikontruk oleh hasratnya sendiri. Manusia pun bertindak jauh dari kebahagiaan cultural dan
hanya terfokus pada kesenangan material.
Prakteknya, kini seluruh kegiatan manusia terfokus pada
demensi budaya pop, budaya yang bereksistensi pada dunia maya, hiperrealitas.
Seperti gadget, televisi, yang menawarkan aplikasi hiper di dalamnya,
bagaimana praksis-intraksi sosial dan menghadirkan realitas sosial dengan
memakai jembataan Blackberry Massanger, Whatssap, Line, Fecebook, Twiteer dll.
Pergeseran intraksi sosial semacam itu semakin jelas ketika obrolan yang biasa
dengan tatap muka (muwajjahah) sudah bergeser pada dunia virtu yang
menghadirkan realitas baru yang semu (baca: hiperealitas). Jabat tangan tidak
lagi sebagai simbol keakraban dan kekeluargaan yang kini tergerus habis oleh
fenomena-fenomena yang sebenarnya hanya persoalan citra dan kesenangan temporal
semata. Sebagaimana ungkapan Yasraf Amir Piliang menyitir Jean Baudlliard
penciptaan kebudayaan dewasa ini merupakan suatu hasil produksi yang disebut
“simulasi” penciptaan model-model nyata yang tanpa asal usul atau
realitas—hiperealitas.
Apalagi gempuran budaya pop ini merupakan reaksi dari
produk kapitalisme yang konsentrasinya pada modal dan hal-hal yang praktis,
kemudian lambat laun kebiasaan manusia akan menjadi hedonis dan pragmatis.
Matinya kesadaran kritis terhadap realitas sekitar juga berimplikasi pada
goyahnya narasi ideologis bangsa ini. Manusia akan memandang segala bentuk
kebobrokan dan tindak tanduk ketidakadilan yang terjadi di negara ini merupakan
hal yang menimpa satu orang/kelompok, sama juga memandang kebahagiaan dan
kesejahteraan adalah tugas masing-masing individu. Konkritnya individu yang
berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang diidamkan.
Betul apa yang disebut Baudrillard, tidak ada ideologi
pada era media massa, sebab ideologi hanya ada dalam kelas-kelas sosial,
padahal yang ada kini hanya massa. Tidak ada yang dapat disebut dengan ideologi
massa. Massa tidak memiliki apa yang disebut realitas sosial, sebab di dalam
massa tidak ada lagi polaritas, pertentangan sosial (pertentangan kelas). Di
hadapan televisi, misalnya, setiap orang siapa saja adalah massa. Maka
berangkat dari itulah, di dalam massa tidak ada lagi yang disebut Marx:
alienasi—ketersisihan kelas pekerja dalam wacana produksi kapitalisme. Bagi
Yasraf Amir Piliang penyebaran makna ideologis melalui massa tidak mungkin lagi
dilakukan, sebab ideologi mengharuskan orang untuk berpihak, sedangkan pada
massa—tanpa perlu mempertanyakan keberpihakan ideologis, massa menempatkan
dirinya bagai lubang hitam yang dapat menyerap setiap makna, tanda, setiap
ideologi manapun, dan makna-makna tersebut takpernah direflleksikan dalam
relasi sosial.
Budaya dewasa ini menggambarkan lenyapnya realitas
sosial, manusia tidak lagi merefleksikan dirinya sebagaimana yang disebut
Ariestoteles “zoon policon”. Di dalam massa realitas sosial hanya
kepingan-kepingan yang simpang siur, dan kepingan-kepingan itu bagi Danie Bell
dalam The End of Ideology pada akhirnya diubah wujudnya oleh massa menjadi
seperangkat tontonan, seperangkat komoditi. Dengan meleburnya segala identitas
sosial ke dalam wujud massa, maka manusia kini kata Baudrillard, berada pada
akhir dari sosial, semua yang tampak hanya wujud simulasinya.
Nalar Imajiner
Memang pada dasarnya manusia selalu takut untuk
membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi hari esok bahkan lusa,
takut tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Namun tak harus dari
peristiwa itu, manusia melupakan takdirnya untuk menghargai kebudayaan
berproses, menyeimbangi kehidupan antara senang dan bahagia sebagai manusia yang rahmatan lil’alamin.
Upaya
pragmatis manusia demi menghindari kesedihan dan ketidaksesuaian dengan
keinginannya, dari itu manusia telah berani melupakan kegiatan berimajinasi.
Imajinasi sebagai ruang lingkup manusia untuk mengeksplorasi nilai-nilai
kehidupan untuk menemukan kehidupan yang lebih baru dan baik, dianggap sesuatu
yang sia-sia. Padahal di situlah sebenarnya manusia berupaya menciptakan
keberagaman kebahagiaan, kreatifitas menemukan kehidupan yang lebih orientatif.
Kegiatan
berimajinasi pada abad ini telah terasing dari peradaban manusia. Seperti
halnya kegiatan sebelum tidur; dulu kita sebelum tidur di hadapkan pada dongeng. Banyak
dongeng-dongeng yang telah nenek dan ibu kita dongengkan sebelum tidur. Di
dalam dongeng itu, kita seperti diajak mengembarai sebuah hutan yang luas
dengan pohon-pohon yang besar dan hijau, indah lagi menyenangkan. Proses komunikasi di dalam dongeng antara nenek dan kita
terjalin romantisisme kepedulian, keakraban dalam proses intraksi sosial kita.
Imajianasi
kita terbebas untuk mengembarai dunia dongeng tersebut. Membayangkan sosok di
dalam dongeng itu
adalah kita, menemukan tempat, dan pengalaman dramatic. Kita terhanyut kedalam
peristiwa, dan mengikuti alur cerita sampai mata kita benar-benar terpejam. Lalu ke esokan harinya kita dapat lagi bercengkrama
dengan nenek kita menyoal bagaimana jalan cerita selanjutnya, hingga tetaplah
terjadi reaksi-komunikasi yang berkelanjutan.
Dalam
proses dongeng tersebut kita juga menyadari bahwa itu hanya dongeng, hanya
cerita penghantar tidur. Tapi proses
dialektik dan estetik ketika kita di hadapkan pada dongeng dan masuk kedalam alur ceritanya, senang dan
sedih kita alami, bahkan sesekali tertawa nyaring atau menangis terisak. Di
sinilah kita selalu diingatkan akan tindakan dan moralitas, dimana yang baik
dan yang buruk. Ketika
kita di hadapkan pada realitas sosial kita bisa
membedakan yang pantas dan tidak pantas, yang untuk kita dan bukan, bagaimana
menyikapi realitas dengan jujur dan lapang dada.
Nah,
sebanarnya itulah pengalaman estetik dalam proses menemukan kebahagiaan
kultural dalam kehidupan ini. Nilai-nilai ideal dalam sebuah dongeng itu kita pelihara dalam lekuk memori. Supaya
Kita mendapatkan klarifikasi mental dalam menghadirkan nilai-nilai kultural
yang berorientasi pada moral untuk menuntut hidup kita lebih baik kedepannya. Bambang Sugiharto juga pernah mengatakan moralitas tak
pernah sehitam-seputih dan semudah hukum, ia (moralitas) berkaitan erat dengan
intuisi terdalam manusia, yang pada gilirannya erat berkaitan pula dengan
kemampuan menalar dan luasnya wawasan.
Dongeng
telah berhasil memasuki tubuh manusia, membentuk mental, di mana anak-anak yang
masih baru berumur 3 bulan samapai 4 bulan sudah berani berimajinasi—menghadirkan
realitas baru dalam kehidupannya. Dongeng seperti sebuah taman yang mengajak
manusia untuk berlari dengan keindahan dan kesedihan, beragam peristiwa
daramatik-estetik hinggap di dalam benak kita, dihayati, dinikmati hingga ketika seluruh peristiwa itu berbaur muncullah
kreatifitas kehidupan di dunia ini.
Apalagi budaya dongeng selalu menstimulasi anak-anak
untuk mengetahui rahasia di balik dongeng tersebut. Ia kemudian rajin belajar,
rajin bertanya dan membaca buku-buku untuk menambah pengetahuannya. Bukti
konkretnya, tahun 2014 dari beberapa anak yang saya temui di daerah cabeyan km
7,5 sebagian anak-anak di cabeyan suka mendengarkan dongeng, akibat dari
dayatawar dongeng anak-anak tersebut rajin meminjam buku novel, cerpen dsbg ke
TBM Hasyim Asy’ari. Ketika ada pandangan
positif semacam itu dari anak-anak untuk mengenal buku, ini perlu dirawat dan
dilestarikan budaya rasa ingin tahu tersebut.
Seperti juga penelitian Samuel Huntington yang ditulis
kembali Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan dan Identitas mengenai
kemajuan Korea yang salah satunya didorong oleh faktor “tingkat melek huruf
yang tinggi”, sekitar 1960an Korea Selatan sudah memiliki sistem sekolah yang
baik yaitu menghargai budaya pendidikan. Secara umum kemajuan Korea dalam
pendidikan sekolah terjadi pada masa sekitar Perang Dunia II, terutama melalui
kebijakan publik yang tegas bagaimana budaya mengambil porsi besar dalam
mendorong orang-orang Korea Selatan menghargai budaya hemat, kerja keras,
pendidikan dan disiplin. Tegas Hutington, di sinilah budaya berperan.
Proyek Dunia Virtu
Namun
apakah benar di abad ini manusia masih bisa berimajinasi? Kehidupan yang makin
pragmatis-materialistis telah mengambil jarak dengan tradisi berimajinasi.
Aktifitas anak-anak yang sudah mulai terasing dari dongeng telah menimbulkan
jarak komunikasi dengan orang tua. Medan keluarga sudah digeser ke ruang individualitas—anak-anak
terlempar dari dunianya dan menemukan dunia baru yang dianggapnya lebih bagus dan menarik; dunia virtual dengan wajah menakjubkan sekaligus nama polesannya “gadget” dan televisi. Dunia baru ini mampu menyihir anak-anak ke
sikap personal, individual, mental tidak stabil kemudian cendrung egoistic.
Anak-anak
tak perlu dongeng lagi penghantar tidur, tidak butuh orang tua untuk menemani tidur
di sampingnya. Apalagi berkomunikasi yang
telah punah digeser oleh kepentingan pribadi akan kesenangan yang ditawarkan
budaya virtual (baca: budaya pop). Hiperrealitas yang ditimbulkan oleh produksi
teknologi semacam gadget dan televisi lewat bayang-bayang gambar seperti
game, vidio dan semacamnya merupakan gejala kontemporer yang didomiasi ekstasi komunikasi. Yakni
dalam penjelasan Baudrillard melimpah ruahnnya suara, citra dan sensasi lain
yang diproduksi teknologi media modern semacam gadget dan televisi—yang
bukan hanya membuat manusia gampang mendapat citra bayangan atas sesuatu,
melainkan bayangan itu mengambil alih realitas yang dicitrakan. Dunia simulasi
bukan lantas membawa manusia pada kenyataan, melain semakin menjauhkan manusia
pada kebenaran kenyataan, di mana hiperrealitas mendahului dan mengganti
realitas sebenarnya.
Kemajuan kontemporer dengan gemuruh teknologinya,
sebenarnya samakin menunjukkan betapa bodohnya kita (manusia) ditipu oleh
sesuatu yang hanya wujud citraan, sesuatu yang palsu dan semu. Secara tidak
langsung budaya virtu telah memutus peran orang tua dalam mendampingi anaknya
(bisa diyakini dalam persoalan apapun) dan sebaliknya pula anaknya merasa damai
dengan mainan dan pekerjaannya. Kemudian tipikal hidup tersebut akan terus berlanjut dan menjadi habitus, jika orang tua menganggap hal
demikian sebagai tindakan mandiri seorang anak. Dan orang tua merasa nyaman dengan identitas baru yang
merenggutnya. Tidak! Tidak! Dalam problematika ini orang tua harus memiliki kesadaran
intelektuil untuk mendidik seorang anak agar berada pada realitas yang nyata,
yaitu sadar sosial. Tugas
orang
tua adalah hadir di tengah-tengah aktivitas seorang anak sebagai controling.
Karena
anak-anak pada umumnya adalah generasi perawat kebudayaan. Menjaga kebudayaan
local seperti dongeng, perkumpulan, dan
semacamnya sebagai identitas asli warisan nenek moyang—milik
kita—supaya identitas asli kita tidak
tergerus oleh dunia digital—yang sengaja dicipta oleh orang-orang luar-- sebagai
hantu penghancur kebudayaan kita. Orang tua harus benar menfilter kegiatan
anak-anak, tidak harus berprinsip asal bahagia! Tapi yang terpenting sekarang
talian batin seorang anak dengan orang tua tetap terjalin, supaya proses
regenerasi kekeluargaan dan berkebudayaan mampu menggiring anak-anak menghadapi
pradaban digital tanpa membuang kebudayaan local.
Anwar, adalah Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Fak. Adab dan Ilmu
Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aktif Mengelola Taman Baca Masyarakat
(TMB) Hasim Ay’ari Cabeyan Sewon Bantul Yogyakarta.
No
Kontak: 085226045529
Daftar
Pustaka
Piliang, Yasraf Amir. Sebuah Dunia yang Dilipat.
Bandung: Penerbit Mizan. 1998
Baudrillard, Jean. Galaksi Simulakra. Terj.
Yogyakarta: LKIS. 2001
Sen, Amartya. Kekerasan dan Identitas. Terj.
Tangerang Selatan: Gajah Hidup. 2007
Jurriens, Edwin. Budaya Populer Di Indonesia.
Yogyakarta: Jalasutra. 2012
Bell, Daniel. The End Of Ideology. Harvard
University Press. 1988
Tidak ada komentar
Posting Komentar