Kamis, 26 Mei 2016

NARASI BUDAYA POSMO DAN IMAJINASI KEBUDAYAAN

Oleh: Anwar Abad modern telah benar-benar meringkus manusia ke sebuah metafora besar; di mana perubahan nilai dan sikap tan... thumbnail 1 summary





Oleh: Anwar
Abad modern telah benar-benar meringkus manusia ke sebuah metafora besar; di mana perubahan nilai dan sikap tanpak pada hal-hal yang matematis, praktis, dan pragmatis. Manusia seakan-akan telah mampu menciptakan takdirnya sendiri sesuai peradaban dan alat-alat canggih yang ditawarkan abad ini. Teknologisasi dunia, yang membuat segala sesuatu menjadi mudah diterka, bahkan di dapatkan, suatu kiblat bagi manusia untuk mencapai identitas serta kepuasan hasrat. Manusia pun memakai pradigma baru dalam menjalani kehidupan bersosial; hidup asal bahagia, sudah!
Lalu terjadilah pergeseran nilai di sini. Kegiatan-kegiatan manusia beku dan stagnan, tanpa kreatifitas, seolah-olah manusia mengamini betul perkataan Jean Baudrillard akan “the silent majoritis”, mayoritas yang diam. Segerombolan manusia yang kehilangan daya keritisnya akan fenomena sekitar, hingga akarnya tranformasi nila-nilai budaya menjadi macet dan gersang. Celakalah kebudayaan kita, sebab tanpa disadari pradigma berpikir manusia telah dikontruk oleh hasratnya sendiri. Manusia pun bertindak jauh dari kebahagiaan cultural dan hanya terfokus pada kesenangan material.
Prakteknya, kini seluruh kegiatan manusia terfokus pada demensi budaya pop, budaya yang bereksistensi pada dunia maya, hiperrealitas. Seperti gadget, televisi, yang menawarkan aplikasi hiper di dalamnya, bagaimana praksis-intraksi sosial dan menghadirkan realitas sosial dengan memakai jembataan Blackberry Massanger, Whatssap, Line, Fecebook, Twiteer dll. Pergeseran intraksi sosial semacam itu semakin jelas ketika obrolan yang biasa dengan tatap muka (muwajjahah) sudah bergeser pada dunia virtu yang menghadirkan realitas baru yang semu (baca: hiperealitas). Jabat tangan tidak lagi sebagai simbol keakraban dan kekeluargaan yang kini tergerus habis oleh fenomena-fenomena yang sebenarnya hanya persoalan citra dan kesenangan temporal semata. Sebagaimana ungkapan Yasraf Amir Piliang menyitir Jean Baudlliard penciptaan kebudayaan dewasa ini merupakan suatu hasil produksi yang disebut “simulasi” penciptaan model-model nyata yang tanpa asal usul atau realitas—hiperealitas.
Apalagi gempuran budaya pop ini merupakan reaksi dari produk kapitalisme yang konsentrasinya pada modal dan hal-hal yang praktis, kemudian lambat laun kebiasaan manusia akan menjadi hedonis dan pragmatis. Matinya kesadaran kritis terhadap realitas sekitar juga berimplikasi pada goyahnya narasi ideologis bangsa ini. Manusia akan memandang segala bentuk kebobrokan dan tindak tanduk ketidakadilan yang terjadi di negara ini merupakan hal yang menimpa satu orang/kelompok, sama juga memandang kebahagiaan dan kesejahteraan adalah tugas masing-masing individu. Konkritnya individu yang berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang diidamkan.
Betul apa yang disebut Baudrillard, tidak ada ideologi pada era media massa, sebab ideologi hanya ada dalam kelas-kelas sosial, padahal yang ada kini hanya massa. Tidak ada yang dapat disebut dengan ideologi massa. Massa tidak memiliki apa yang disebut realitas sosial, sebab di dalam massa tidak ada lagi polaritas, pertentangan sosial (pertentangan kelas). Di hadapan televisi, misalnya, setiap orang siapa saja adalah massa. Maka berangkat dari itulah, di dalam massa tidak ada lagi yang disebut Marx: alienasi—ketersisihan kelas pekerja dalam wacana produksi kapitalisme. Bagi Yasraf Amir Piliang penyebaran makna ideologis melalui massa tidak mungkin lagi dilakukan, sebab ideologi mengharuskan orang untuk berpihak, sedangkan pada massa—tanpa perlu mempertanyakan keberpihakan ideologis, massa menempatkan dirinya bagai lubang hitam yang dapat menyerap setiap makna, tanda, setiap ideologi manapun, dan makna-makna tersebut takpernah direflleksikan dalam relasi sosial.
Budaya dewasa ini menggambarkan lenyapnya realitas sosial, manusia tidak lagi merefleksikan dirinya sebagaimana yang disebut Ariestoteles “zoon policon”. Di dalam massa realitas sosial hanya kepingan-kepingan yang simpang siur, dan kepingan-kepingan itu bagi Danie Bell dalam The End of Ideology pada akhirnya diubah wujudnya oleh massa menjadi seperangkat tontonan, seperangkat komoditi. Dengan meleburnya segala identitas sosial ke dalam wujud massa, maka manusia kini kata Baudrillard, berada pada akhir dari sosial, semua yang tampak hanya wujud simulasinya.
Nalar Imajiner
Memang pada dasarnya manusia selalu takut untuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi hari esok bahkan lusa, takut tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Namun tak harus dari peristiwa itu, manusia melupakan takdirnya untuk menghargai kebudayaan berproses, menyeimbangi kehidupan antara senang dan bahagia sebagai manusia yang rahmatan lil’alamin.
Upaya pragmatis manusia demi menghindari kesedihan dan ketidaksesuaian dengan keinginannya, dari itu manusia telah berani melupakan kegiatan berimajinasi. Imajinasi sebagai ruang lingkup manusia untuk mengeksplorasi nilai-nilai kehidupan untuk menemukan kehidupan yang lebih baru dan baik, dianggap sesuatu yang sia-sia. Padahal di situlah sebenarnya manusia berupaya menciptakan keberagaman kebahagiaan, kreatifitas menemukan kehidupan yang lebih orientatif.
Kegiatan berimajinasi pada abad ini telah terasing dari peradaban manusia. Seperti halnya kegiatan sebelum tidur; dulu kita sebelum tidur di hadapkan pada dongeng. Banyak dongeng-dongeng yang telah nenek dan ibu kita dongengkan sebelum tidur. Di dalam dongeng itu, kita seperti diajak mengembarai sebuah hutan yang luas dengan pohon-pohon yang besar dan hijau, indah lagi menyenangkan. Proses komunikasi di dalam dongeng antara nenek dan kita terjalin romantisisme kepedulian, keakraban dalam proses intraksi sosial kita.  
Imajianasi kita terbebas untuk mengembarai dunia dongeng tersebut. Membayangkan sosok di dalam dongeng itu adalah kita, menemukan tempat, dan pengalaman dramatic. Kita terhanyut kedalam peristiwa, dan mengikuti alur cerita sampai mata kita benar-benar terpejam. Lalu ke esokan harinya kita dapat lagi bercengkrama dengan nenek kita menyoal bagaimana jalan cerita selanjutnya, hingga tetaplah terjadi reaksi-komunikasi yang berkelanjutan.
Dalam proses dongeng tersebut kita juga menyadari bahwa itu hanya dongeng, hanya cerita penghantar tidur. Tapi proses dialektik dan estetik ketika kita di hadapkan pada dongeng dan masuk kedalam alur ceritanya, senang dan sedih kita alami, bahkan sesekali tertawa nyaring atau menangis terisak. Di sinilah kita selalu diingatkan akan tindakan dan moralitas, dimana yang baik dan yang buruk. Ketika kita di hadapkan pada realitas sosial kita bisa membedakan yang pantas dan tidak pantas, yang untuk kita dan bukan, bagaimana menyikapi realitas dengan jujur dan lapang dada.
Nah, sebanarnya itulah pengalaman estetik dalam proses menemukan kebahagiaan kultural dalam kehidupan ini. Nilai-nilai ideal dalam sebuah dongeng itu kita pelihara dalam lekuk memori. Supaya Kita mendapatkan klarifikasi mental dalam menghadirkan nilai-nilai kultural yang berorientasi pada moral untuk menuntut hidup kita lebih baik kedepannya. Bambang Sugiharto juga pernah mengatakan moralitas tak pernah sehitam-seputih dan semudah hukum, ia (moralitas) berkaitan erat dengan intuisi terdalam manusia, yang pada gilirannya erat berkaitan pula dengan kemampuan menalar dan luasnya wawasan.
Dongeng telah berhasil memasuki tubuh manusia, membentuk mental, di mana anak-anak yang masih baru berumur 3 bulan samapai 4 bulan sudah berani berimajinasi—menghadirkan realitas baru dalam kehidupannya. Dongeng seperti sebuah taman yang mengajak manusia untuk berlari dengan keindahan dan kesedihan, beragam peristiwa daramatik-estetik hinggap di dalam benak kita, dihayati, dinikmati hingga ketika seluruh peristiwa itu berbaur muncullah kreatifitas kehidupan di dunia ini.
Apalagi budaya dongeng selalu menstimulasi anak-anak untuk mengetahui rahasia di balik dongeng tersebut. Ia kemudian rajin belajar, rajin bertanya dan membaca buku-buku untuk menambah pengetahuannya. Bukti konkretnya, tahun 2014 dari beberapa anak yang saya temui di daerah cabeyan km 7,5 sebagian anak-anak di cabeyan suka mendengarkan dongeng, akibat dari dayatawar dongeng anak-anak tersebut rajin meminjam buku novel, cerpen dsbg ke TBM Hasyim Asy’ari.  Ketika ada pandangan positif semacam itu dari anak-anak untuk mengenal buku, ini perlu dirawat dan dilestarikan budaya rasa ingin tahu tersebut.
Seperti juga penelitian Samuel Huntington yang ditulis kembali Amartya Sen dalam bukunya Kekerasan dan Identitas mengenai kemajuan Korea yang salah satunya didorong oleh faktor “tingkat melek huruf yang tinggi”, sekitar 1960an Korea Selatan sudah memiliki sistem sekolah yang baik yaitu menghargai budaya pendidikan. Secara umum kemajuan Korea dalam pendidikan sekolah terjadi pada masa sekitar Perang Dunia II, terutama melalui kebijakan publik yang tegas bagaimana budaya mengambil porsi besar dalam mendorong orang-orang Korea Selatan menghargai budaya hemat, kerja keras, pendidikan dan disiplin. Tegas Hutington, di sinilah budaya berperan.
Proyek Dunia Virtu
Namun apakah benar di abad ini manusia masih bisa berimajinasi? Kehidupan yang makin pragmatis-materialistis telah mengambil jarak dengan tradisi berimajinasi. Aktifitas anak-anak yang sudah mulai terasing dari dongeng telah menimbulkan jarak komunikasi dengan orang tua. Medan keluarga sudah digeser ke ruang individualitas—anak-anak terlempar dari dunianya dan menemukan dunia baru yang dianggapnya lebih bagus dan menarik; dunia virtual dengan wajah menakjubkan sekaligus nama polesannya gadget” dan televisi. Dunia baru ini mampu menyihir anak-anak ke sikap personal, individual, mental tidak stabil kemudian cendrung egoistic.
Anak-anak tak perlu dongeng lagi penghantar tidur, tidak butuh orang tua untuk menemani tidur di sampingnya. Apalagi berkomunikasi yang telah punah digeser oleh kepentingan pribadi akan kesenangan yang ditawarkan budaya virtual (baca: budaya pop). Hiperrealitas yang ditimbulkan oleh produksi teknologi semacam gadget dan televisi lewat bayang-bayang gambar seperti game, vidio dan semacamnya merupakan gejala kontemporer  yang didomiasi ekstasi komunikasi. Yakni dalam penjelasan Baudrillard melimpah ruahnnya suara, citra dan sensasi lain yang diproduksi teknologi media modern semacam gadget dan televisi—yang bukan hanya membuat manusia gampang mendapat citra bayangan atas sesuatu, melainkan bayangan itu mengambil alih realitas yang dicitrakan. Dunia simulasi bukan lantas membawa manusia pada kenyataan, melain semakin menjauhkan manusia pada kebenaran kenyataan, di mana hiperrealitas mendahului dan mengganti realitas sebenarnya.
Kemajuan kontemporer dengan gemuruh teknologinya, sebenarnya samakin menunjukkan betapa bodohnya kita (manusia) ditipu oleh sesuatu yang hanya wujud citraan, sesuatu yang palsu dan semu. Secara tidak langsung budaya virtu telah memutus peran orang tua dalam mendampingi anaknya (bisa diyakini dalam persoalan apapun) dan sebaliknya pula anaknya merasa damai dengan mainan dan pekerjaannya. Kemudian tipikal hidup tersebut akan terus berlanjut dan menjadi habitus, jika orang tua menganggap hal demikian sebagai tindakan mandiri seorang anak. Dan orang tua merasa nyaman dengan identitas baru yang merenggutnya. Tidak! Tidak! Dalam problematika ini orang tua harus memiliki kesadaran intelektuil untuk mendidik seorang anak agar berada pada realitas yang nyata, yaitu sadar sosial. Tugas orang tua adalah hadir di tengah-tengah aktivitas seorang anak sebagai controling.
Karena anak-anak pada umumnya adalah generasi perawat kebudayaan. Menjaga kebudayaan local seperti dongeng, perkumpulan, dan semacamnya sebagai identitas asli warisan nenek moyang—milik kita—supaya identitas asli kita tidak tergerus oleh dunia digital—yang sengaja dicipta oleh orang-orang luar-- sebagai hantu penghancur kebudayaan kita. Orang tua harus benar menfilter kegiatan anak-anak, tidak harus berprinsip asal bahagia! Tapi yang terpenting sekarang talian batin seorang anak dengan orang tua tetap terjalin, supaya proses regenerasi kekeluargaan dan berkebudayaan mampu menggiring anak-anak menghadapi pradaban digital tanpa membuang kebudayaan local.


Anwar, adalah Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aktif Mengelola Taman Baca Masyarakat (TMB) Hasim Ay’ari Cabeyan Sewon Bantul Yogyakarta.
No Kontak: 085226045529
Daftar Pustaka
Piliang, Yasraf Amir. Sebuah Dunia yang Dilipat. Bandung: Penerbit Mizan. 1998
Baudrillard, Jean. Galaksi Simulakra. Terj. Yogyakarta: LKIS. 2001
Sen, Amartya. Kekerasan dan Identitas. Terj. Tangerang Selatan: Gajah Hidup. 2007
Jurriens, Edwin. Budaya Populer Di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. 2012
Bell, Daniel. The End Of Ideology. Harvard University Press. 1988

Tidak ada komentar

Posting Komentar